
Tulisan ini dibuat berdasarkan pengalaman pribadi semasa menjadi petugas penjangkau pengguna Napza yang masih aktif. Mereka seringkali kesulitan mendapatkan informasi rujukan kesehatan dan rujukan tempat rehabilitasi. Tidak hanya pengguna Napza suntik, kondisi ini juga dirasakan oleh populasi tersembunyi.
Saya bergabung di subuah lembaga sejak Oktober 2004. Lembaga ini pada awalnya melakukan program Harm Reduction (Program pengurangan dampak buruk untuk HIV dan AIDS). Mereka bekerja di Kecamatan Cilandak yang didalamnya terdapat lima kelurahan yaitu Cilandak Barat, Pondok Labu, Gandaria Selatan, Lebak Bulus dan Cipete Selatan.
Kegiatan penjangkauan yang saya lakukan adalah hal baru bagi saya. Aktivitas ini dimulai dari bulan Desember tahun 2004 dan berakhir pada September 2008. Awalnya saya melakukan pemetaan di daerah Cilandak Barat, Pondok Labu, Cipete Selatan, Gandaria Selatan dan Lebak Bulus.
Pemetaan dimulai dengan mencari ‘key person’ (orang yang menjadi kontak diwilayah itu). Daerah ini bisa dipetakan karena beberapa teman yang tergabung di lembaga itu adalah mantan pengguna NAPZA suntik dan berasal dari daerah tersebut. Selama pemetaan mereka dibekali beberapa materi berupa brosur dan leafleat.
Materi tersebut mencakup informasi tentang HIV dan AIDS, Hepatitis C, over dosis. Selain itu juga ada paket jarum suntik steril dan kondom untuk dibagikan secara gratis kepada konstituen (penerima manfaat). Semua perlengkapan disiapkan dari kantor.
Kegiatan awal yang dilakukan oleh petugas lapangan untuk HIV dan AIDS di lima kelurahan itu adalah perkenalan. Aktivis menjelaskan maksud dan tujuan bertandang kepada teman-teman pengguna NAPZA yang masih aktif dan dijangkau. Penjangkauan juga dilakukan kepada masyarakat yang lokasinya menjadi tongkrongan.
Awalnya, teman-teman pengguna sangat sensitif sekali untuk didata oleh aktivis lapangan. Mereka ditanya nama asli, usia, pemakaian, tongkrongan, status pernikahan, dsb. Namun mereka takut pendataan yang dilakukan akan sampai kepada petugas kepolisian. Petugas lapangan memberikan penjelasan bahwa data ini sifatnya rahasia.
Kami menuliskan dalam bentuk kode nomor urut yang digunakan oleh lembaga dan bukanlah nama lengkap. Data yang digunakan untuk sosialisasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan, lembaga menggunakan data berupa angka pengguna NAPZA di daerah itu, bukan nama dan tempat tinggal. Selain memberikan informasi, teman-teman petugas lapangan juga memberikan jarum suntik steril kepada teman-teman pengguna NAPZA suntik, ini bukan untuk melegalkan pemakaian mereka tetapi ini untuk memutus mata rantai HIV dan AIDS serta penularan Hepatitis.
Melalui proses, terjalin hubungan baik dan muncul kepercayaan dari teman-teman pengguna NAPZA suntik kepada petugas lapangan. Namun, muncul anggapan bahwa mereka adalah ‘dewa’ yang bisa menyelesaikan semua masalah bagi pengguna NAPZA yang didampingi. Dari masalah rujukan kesehatan, kasus hukum, orang tua, masalah dengan masyarakat di sekitar, kepemilikan KTP (Kartu Tanda Penduduk) hingga untuk membuat surat keterangan tidak mampu.
Ini adalah sebuah pembelajaran sebagai petugas lapangan. Mereka harus menguasai informasi tentang akses-akses layanan rujukan. Meskipun dalam kenyataannya, kapasitas seorang petugas lapangan terbatas demikian juga dengan fasilitas yang disediakan oleh setiap institusi untuk akses layanan kesehatan sering berbeda-beda. Akibatnya, informasi yang petugas lapangan berikan kurang tepat.
Para pengguna NAPZA suntik sangat dekat dengan permasalahan hukum yang juga dapat melibatkan petugas lapangan ke dalamnya. Terkadang, dilapangan mereka juga harus melakukan advokasi kepada pihak kepolisian untuk permasalahan jarum suntik yang dibawa oleh konstituen saat tertangkap.
Petugas lapangan memperjuangkan agar akses terapi substitusi yang dipakai oleh si pengguna bisa masuk di dalam tempat dimana mereka ditahan. Mereka juga memfasilitasi masalah hubungan interaksi sosial dengan keluarga dan masyarakat sekitar, juga konseling permasalahan adiksi. Petugas lapangan juga harus mempunyai kemampuan untuk memfasilitasi. Mereka melakukan pemberdayaan dilapangan tidak hanya kepada individu-individu saja tetapi juga kepada komunitas konstituen dan masyarakat sekitar.
Seorang petugas lapangan dituntut kejeliannya dalam melakukan analisis kebutuhan komunitas di lapangan. Hal ini biasa dilakukan dengan metode diskusi interaktif kelompok. Petugas lapangan juga harus bisa memberikan sesi di lapangan secara oral ataupun menggunakan berbagai alat peraga. Kertas flip chart, spidol, kertas metaplan juga dipersiapkan ketika akan turun ke lapangan.
Seorang petugas lapangan yang berjiwa besar dan mempunyai komitmen sosial terkadang juga memberikan waktu lebih kepada komunitas untuk berdiskusi. Hal tersebut dilakukan di luar jam kerja rutin yang ditentukan oleh lembaga. Petugas lapangan diharapkan dapat memandirikan, memberdayakan dan membangun kesadaran kritis. Tujuannya agar pengguna Napza dapat mengakses sumber daya dan terlibat dalam pemenuhan kebutuhan kesehatan. Petugas lapangan juga mampu bernegosiasi dengan konstituen dan para pihak terkait di lapangan.
Tulisan ini merupakan hasil positif yang bisa saya gambarkan dari penjangkauan yang dilakukan selama empat tahun. Teman-teman pengguna NAPZA menyadari akan resiko penularan HIV dan Hepatitis C dari media jarum suntik yang tidak steril yang dipakai secara bersamaan dan bergantian.
Mereka pun mencoba untuk merubah perilaku dengan meminta jarum steril kepada petugas lapangan. Mereka juga bisa datang langsung ke drop in center dan Puskesmas yang menjalani program Harm Reduction. Mereka konseling dan tes HIV secara sukarela. Melakukan perobatan kesehatan dasar atau detoksifikasi simptomatik (gejala-gejalanya) di Puskesmas Kecamatan terdekat. Banyak diantaranya juga mengikuti program substitusi sebagai terapi agar lebih produktif dan mengurangi dampak buruk penularan HIV.
Hal itu terjadi karena mereka menjadi mengetahui hak-hak atas kesehatan. Mereka mengetahui pentingnya kesehatan bagi pengguna NAPZA. Mereka sadar, sebagai pengguna mereka adalah subpopulasi tertinggi untuk penularan virus HIV dan Hepatitis C.
Pengguna NAPZA sebagai populasi tersembunyi kini sudah berbaur dengan masyarakat. Petugas lapangan melibatkan mereka dalam melakukan kegiatan sosialisasi dan diskusi kepada masyarakat di sekitar lingkungan pengguna. Mereka merekomendasikan agar pengguna memeriksakan kesehatannya ke layanan kesehatan dasar Puskesmas terdekat. Selain itu juga menyadarkan pentingnya keterlibatan pengguna NAPZA untuk menurunkan stigma dan diskriminasi di masyarakat.
Walaupun begitu, terjadi juga efek negatif yang berdampak dari kegiatan yang dilakukan di lapangan. Salah satunya dari kebiasaan pembagian jarum—ke tongkrongan-tongkrongan yang didatangi oleh setiap harinya—membuat ‘ketergantungan’ beberapa konstituen. Efek negatif yang terjadi adalah konstituen memilih menunggu petugas lapangan datang ke tempat mereka. Beberapa dari mereka juga menjadi ‘manja’ dengan minta diantarkan untuk mengakses layanan kesehatan.
Ada juga permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh petugas lapangan. Mereka mempunyai resiko dengan kesehatan atau rentan terserang penyakit. Mereka melakukan tugas secara rutin dengan aktif berkendara motor di jalan atau terkadang ‘foot patrol’ (berjalan kaki) dengan menggunakan angkutan umum. Mereka lalu terkena panas dan hujan, menghirup polusi kendaraan bermotor di jalan, risiko kecelakaan, juga tertusuk jarum bekas dan bagi mantan pengguna beresiko untuk memakai kembali.
Rasa tidak berguna juga dialami oleh petugas lapangan. Terkadang mereka merasa tidak mampu bekerja secara maksimal untuk memenuhi kebutuhan konstituen. Tuntutan itu misalnya merujuk pengguna yang telah sakit ke layanan kesehatan yang terjangkau. Pihak keluarga menuntut pembiayaan sepenuhnya gratis namun tidak semua layanan kesehatan dapat diakses secara gratis.
Rutinitas ke lapangan juga membuat jenuh. Setiap hari petugas lapangan menemukan bermacam karakter manusia. Mereka harus menyusun strategi menghadapi mobilitas pengguna NAPZA yang tinggi. Berpindah-pindahnya tempat para pengguna NAPZA demi mendapatkan dan menikmati NAPZA membuat pusing petugas lapangan.
Para petugas lapangan juga mengalami rangkap pekerjaan. Mereka harus menjangkau konstituen, melakukan konseling di lapangan dan drop in center. Di sisi lain, mereka juga menjadi manajer kasus dengan menangani konstituen yang sakit dalam hal rujukan dan mengarahkan dalam megurus surat-surat keterangan tidak mampu. Hal ini dilakukan untuk konstituen yang tidak mampu dengan masalah pembiayaan rumah sakit. Mereka juga terkadang melakukan advokasi ke wilayah yang dijangkau. Rangkap kerja ini kerap terjadi di beberapa lembaga yang minim akan sumberdaya manusia dan dana kegiatan program dari donor terbatas.
Petugas lapangan sebagai ujung tombak seharusnya diberdayakan, diberikan kemampuan, wawasan dan informasi yang lebih. Sebagai petugas lapangan, mereka yang melakukan pemetaan dan membuka suatu wilayah untuk menemukan ‘key person’ dan populasi tersembunyi di suatu wilayah. Mereka juga melakukan pendataan awal yang akan dijadikan sebagai data utama lembaga.
Oleh: Faisal
Edit by: Aris Soebakti - Yayasan SatuDunia